Pada suatu hari di sebuah sungai,
seekor buaya yang sedang mencari-cari mangsa. Sudah tiga hari ia tidak mencari
mangsa. Sebelumnya ia mendapatkan seekor babi yang besar dan gemuk. Lalu
tertidur pulas selama tiga hari karena kekenyangan.
Moncong buaya sudah dibuka lebar di
sungai menanti kalau ada ikan yang lewat. Tetapi sudah lama ia menunggu
mangsanya tak kunjung datang. Tidak berapa lama muncul seekor ikan gurame di
dekat moncongnya. “Hai buaya! Kelihatannya kau lapar sekali!” sapa ikan gurame
persis di depan mulutnya yang ternganga.
“Kebetulan sekali kamu datang.
Perutku lapar sekali karena belum diisi.” ucap buaya dengan gembira. “Wahai
buaya, kalau kau makan aku, pasti kau cepat lapar lagi. Bukankah dagingku tidak
seberapa besar? Tetapi kalau kau ingin mendapat mangsa yang lebih besar lagi,
diujung sana ada seekor itik yang sedang berenang. Tentu daging itik itu lebih
besar dan lebih lezat daripada dagingku?” ujar ikan gurame memberi saran.
Buaya diam sejenak dan berpikir.
Terbayanglah seekor itik yang besar dibandingkan dengan seekor ikan gurame.
Buaya akhirnya mengikuti saran ikan gurame. Setibanya di dekat itik berada, ia
langsung memburunya. Itik berlari ke darat untuk menghindari serangan buaya.
Buaya terus mengejar, dan itik terdesak di sudut sebuah pohon. “Hati itik! Mau
lari ke mana kamu?” gertak buaya.
“Jangan buaya! Janganlah kau mangsa
aku, dagingku tidaklah seberapa besar. Kalau kau makan dagingku, pasti kau akan
cepat lapar.” seru itik memohon. “Tetapi kalau kau ingin mangsa yang lebih
besar dari aku, aku dapat menunjukkan di mana tempatnya.” “Tidak, aku sudah
lapar sekali. Dagingmu kurasa cukup lumayan untuk mengisi perutku yang kosong
ini.” ujar buaya yang sudah merasa lapar sekali. “Tunggu, tunggu dulu! Kalau
kau ingin mangsa yang besar, di hutan sebelah sana ada seekor kambing yang
besar dan gemuk. Bukankah daging kambing lebih lezat jika dibandingkan dengan
dagingku?” usul itik.
“Baiklah, kalau begitu tunjukkan aku
di mana kambing itu berada sekarang. Sebab aku sudah tak kuat lagi menahan
lapar.” Buaya menyetujui usul itik, karena ingin mendapatkan mangsa yang lebih
besar lagi. Itik berjalan menuju hutan dan buaya mengikuti dari belakang.
Sampailah di hutan yang dimaksud. Di sana terlihat seekor kambing yang memakan
rumput dan daun-daunan. Tubuh kambing itu lumayan besar dan kelihatan sehat dan
segar.
Perlahan-lahan ia mendekati kambing, sedangkan itik kembali ke sungai.
“Hai kambing! Sedang apa kau?” tanya
buaya membuat kambing terkejut. “Aku sedang makan, memangnya ada apa?” jawab
kambing sambil berhenti mengunyah rumput. “Aku juga mau makan.” ucap buaya
sambil membuka moncongnya lebar-lebar. “Kalau begitu mari kita makan bersama.
Rumputnya masih banyak jangan khawatir. Ayo kita makan!” ajak kambing itu.
“Bodoh! Aku tidak suka makan rumput!” sahut buaya geram. “Lantas, kamu biasanya
memakan apa?” tanya kambing lagi. “Aku suka makan daging. Mungkin dagingmu juga
enak kalau kusantap. Alangkah lezatnya dagingmu.” kata buaya sambil membuka
mulutnya.
“Tunggu dulu! Kalau kau ingin mangsa
yang lebih besar dan lebih lezat, aku dapat menunjukkannya. Di hutan sebelah
sana ada seekor gajah yang besar sekali. Bila kau dapat memangsangnya, kau
pasti akan tahan beberapa hari tidak makan. Konon kabarnya daging gajah itu
empuk dan sangat lezat rasanya.” bujuk kambing.
Buaya menyetujui bujukan kambing,
karena terbayang akan mendapat mangsa yang lebih besar serta dagingnya empuk
dan lezat. “Baiklah, sekarang tunjukkan aku di mana tempatnya?” seru buaya.
“Baik, akan aku tunjukkan tempatnya, tapi aku tidak dapat mengantarkanmu karena
aku belum selesai makan.” ucap kambing berdalih. “Ya, cepat tunjukkan saja
arahnya.”
“Di sebelah barat sana di sana ada
telaga. Disitulah tempat gajah-gajah berkumpul.” seru kambing. Buaya berlalu
meninggalkan kambing untuk mencari gajah.
Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan seekor kerbau. Lantas bertanya pada kerbau yang sedang berkubang itu.
“Hai kerbau! Tahukah kau di mana tempatnya gajah berada? Kalau kau tahu tolong
tunjukkan kepadaku,” sapa buaya pada kerbau. “Ada apa kau mencarinya?” tanya
kerbau.
“Aku ingin sekali memakan dagingnya.
Kata kambing, daging gajah itu empuk dan lezat rasanya.” Jawab buaya. “Baiklah
kalau begitu, mari aku antarkan ke tempat gajah itu berada.” Ajak kerbau.
Tibalah mereka di dekat telaga. Ada beberapa ekor anak gajah yang sedang minum
air telaga. Kerbau pergi setelah menunjukkan tempatnya.
“Benar kata kambing. Gajah itu
memang besar-besar. Aku pasti akan kenyang apabila dapat memakan seekor saja.
Aku dapat tidur beberapa hari kemudian.” Seru buaya dengan perasaan gembira
melihat mangsanya yang cukup besar-besar. Lalu didekatinya seekor anak gajah
yang sedang minum itu.
“Hai gajah! cepat minumnya, karena
aku akan segera memangsamu. Perutku sudah tak kuat lagi menahan lapar.” ucap
buaya kepada anak gajah. Anak gajah itu kaget mendengar ancaman buaya, lalu
berteriak memanggil induknya. Tidak lama kemudian beberapa ekor gajah besar
datang ke tempat itu. “Ada apa anakku?” Adakah yang mengganggumu?” tanya salah
satu gajah yang paling besar. “Ya, aku diganggu oleh buaya itu. Katanya dia
akan memangsaku.” Seru anak gajah sambil menangis. “Apa? Kau ingin memangsa
anakku?” kata gajah besar dengan marah. “Oh, rupanya ada yang lebih besar lagi.
Kalau begitu kau saja yang kumangsa, supaya perutku kenyang!” seru buaya yang
serakah itu. “Cobalah kalau dapat, wahai buaya yag serakah!”
Buaya lalu menyerang gajah besar.
Moncongnya yang panjang dengan gigi-giginya yang tajam menyerang gajah besar.
Gajah besar melompat dan menginjak perut buaya. Dengan belalainya yang panjang
ia melilit moncong buaya itu. Ketika ekor buaya ingin menyambar tubuh gajah
besar, kaki gajah besar menghadangnya lalu menginjaknya. Buaya jadi tak dapat
berkutik, karena moncong dan ekornya tidak dapat bergerak. Sedang kaki-kaki
gajah besar terus menginjak-injak tubuh buaya hingga tak bernapas lagi.
Hal yang bisa kita pelajari dari fabel ini adalah janganlah kita menjadi orang yang serakah sebab itu akan berakibat buruk pada diri kita.